Thursday, October 13, 2016

Bapak Supir Angkot

Sudah sangat lama tidak menulis baik itu opini maupun tulisan akademis jadi sulit sekali rasanya ingin menuangkan isi pikiran yang sangat mengganggu saya akhir-akhir ini. Maaf agak berlebihan.

Rutinitas pagi yang sama yang selalu saya lalui kurang lebih 8 bulan terakhir ini yaitu berangkat kerja setiap pukul 06.30 pagi. Pernahkah kalian amati setiap pagi kendaraan apa yang paling banyak berlalu lalang di sepanjang jalan? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah jawaban dari pertanyaan kenapa jalanan Jakarta selalu macet di tiap jam kerja. Yap, betul! Kendaraan pribadi. Mulai dari mobil dengan tipe mobil keluarga, mobil anak gaul Jakarta, mobil murah ramah lingkungan, sampai mobil yang super mini. Belum lagi tambahan dari jumlah motor yang sejauh mata memandang selalu terlihat. Jalanan pagi hari di Jakarta super ruwet! Capek ngga sih kalian setiap pagi berangkat kerja selalu begini? Hal yang wajar memang jika terdapat kemacetan di pagi hari. Tapi, saya pribadi yakin kemacetan masih bisa dikurangi. Macet itu biasa, tapi jangan sampai macet (pake) banget yang bisa stuck di tempat sampai berjam-jam juga sih... Oke, kita tinggalkan sejenak tentang ‘macet’ karena inti dari tulisan ini bukan mau membahas tentang kemacetan karena sangat membosankan tapi tentang kehidupan seorang rakyat biasa (eerrggh). Semoga tulisannya tidak menjadi sangat-sangat membosankan ya..

Pagi ini, seperti biasa dari Pasar Minggu saya melanjutkan perjalanan menuju kantor naik angkutan kota (angkot) jurusan Pasar Minggu - Kampung Melayu. Tidak ada yang istimewa dengan penumpang angkot yang saya naiki. Begitu pun dengan bapak supir angkot, beliau terlihat biasa layaknya supir angkot pada umumnya. Menggunakan kemeja khas supir angkot berwarna biru. Muka yang terlihat lelah seperti belum sempat cuci muka. Serta rambut jabrik berdiri yang sepertinya jarang disisir. Kulit bapak supir angkot ini cokelat gelap layaknya kulit yang sering kali terbakar sinar matahari. Namun, celotehan bapak supir ini mampu menarik perhatian saya hingga mampu menggerakkan saya untuk membuat sebuah tulisan (lagi) di sini. 

Bapak supir tersebut, mulai bercerita kepada penumpang yang duduk disampingnya terkait tindak penilangan motor yang akhir-akhir ini rajin dilakukan oleh polisi. Dari cara bicaranya telihat sekali rasa kekecewaannya bukan karena dia sering terkena tilang, karena sebagian besar yang ditilang adalah pengendara bermotor. Lantas? Bisa kalian tebak lah ya (apalagi kalau bukan pembayaran sanksi denda tilang besarannya disesuaikan dengan isi dompet para pengendara motor yang kena tilang). Tapi dalam konteks pengenaan sanksi tilang, saya sepakat dengan pihak kepolisian karena tilang dilakukan juga untuk menertibkan para pengendara motor yang tidak disiplin, seperti tidak memakai helm, tidak mempunyai sim, atau melakukan perilaku berkendara lainnya yang membahayakan nyawa pengendara dan nyawa orang lain. Sayangnya saat itu, saya bukanlah penumpang yang duduk disamping bapak supir, jadi saya tidak bisa membagi pendapat saya kepada bapak supir (ngga mungkin teriak-teriak di dalem angkot kan).

Setelah itu, bapak supir melanjutkan berceloteh tentang perpolitikan negeri ini (kece ya, bapaknya aware tentang politik). Terlihat sekali beliau kecewa terhadap Ahok, Jokowi, sampai Megawati. Cerita bapak supir sampai saat itu masih cerita seputar kekecewaan rakyat biasa terhadap banyaknya permasalahan di negeri ini. Masih sangat biasa saya pikir. Sampai setelah itu, bapak supir mulai bercerita tentang kondisi keluarganya.
Bapak supir berkeluh kesah tentang hidupnya yang saat ini terasa lebih berat dan lebih susah dibanding masa-masa sebelum pemesanan transportasi dengan sistem online kian marak di Jakarta. Menurut penuturannya, sebelum ada pemesanan transportasi sistem online, bapak supir mampu meraup pendapatan bersih sebesar kurang lebih Rp 300.000 per hari/ Rp 9.000.000 per bulan. Dengan penghasilan tersebut, bapak supir mampu membayar sekolah anak dan memberi uang untuk istrinya yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Namun, semenjak maraknya pemesanan transportasi online, penghasilan bapak supir ternyata menurun drastis. Menurut cerita, bapak supir bahkan kesulitan untuk mengumpulkan pendapatan bersih Rp 100.000 per hari. Penumpang yang menggunakan angkot semakin hari semakin sedikit. Hingga bapak supir sekarang merasa kesulitan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, saat ini istri bapak supir pun turut membantu dengan bekerja. Mereka bekerja keras, hanya untuk menjamin anaknya dapat mengenyam bangku pendidikan setinggi-tingginya. Kecemasan bapak supir terhadap anaknya sangat telihat dari celotehannya:

“Saya ini hanya lulusan SMA saja jadi supir angkot pak, entah jadi apa anak saya nanti, maka itu saya mau anak saya bisa sekolah, itu aja yang penting.”

Tidak terasa ternyata saya sudah harus turun dari angkot karena sudah sampai di depan kantor saya. Dari turun angkot hingga sampai di ruang kantor, saya hanya bisa berjalan menunduk dengan cerita bapak supir yang masih terngiang-ngiang di otak saya. Rasa sedih dan kecewa memenuhi diri saya di pagi hari ini.

Permasalahan di negeri ini memang terlihat sangat makro. Melibatkan banyak pihak dan unsur yang saling terkait satu sama lain. Arus globalisasi yang sangat deras, gerakan pasar bebas, masyarakat Ekonomi-Asia, pilkada, dinamika politik dan budaya, dan berbagai macam isu besar yang ada di negeri ini memang terlihat hanya merupakan isu semata. Terlihat seperti isu-isu tersebut hanyalah penting dipikirkan oleh pejabat-pejabat negeri yang ada di MPR/DPR, Kabinet RI/ atau akademisi. Namun ternyata, dampak dari isu-isu besar tersebut berpengaruh langsung kepada kehidupan para rakyat kecil. Segala kebijakan pemerintah yang diambil terlihat nyata berpengaruh besar terhadap kehidupan kita sehari-hari. Masih bisakah bekerja besok? masih mampukah membeli makan besok? masih mampukah membayar uang sekolah?

Entahlah, cerita bapak supir tersebut menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya hingga saya merasa perlu membaginya dengan kalian. Selamat Pagi, Selamat menebar kebaikan :)