Sudah sangat lama tidak
menulis baik itu opini maupun tulisan akademis jadi sulit sekali rasanya ingin
menuangkan isi pikiran yang sangat mengganggu saya akhir-akhir ini. Maaf agak
berlebihan.
Rutinitas pagi yang sama
yang selalu saya lalui kurang lebih 8 bulan terakhir ini yaitu berangkat kerja
setiap pukul 06.30 pagi. Pernahkah kalian amati setiap pagi kendaraan apa yang paling
banyak berlalu lalang di sepanjang jalan? Jawaban dari pertanyaan tersebut
adalah jawaban dari pertanyaan kenapa jalanan Jakarta selalu macet di tiap jam
kerja. Yap, betul! Kendaraan pribadi. Mulai dari mobil dengan tipe mobil
keluarga, mobil anak gaul Jakarta, mobil murah ramah lingkungan, sampai mobil
yang super mini. Belum lagi tambahan dari jumlah motor yang sejauh mata
memandang selalu terlihat. Jalanan pagi hari di Jakarta super ruwet! Capek ngga sih kalian setiap pagi berangkat
kerja selalu begini? Hal yang wajar memang
jika terdapat kemacetan di pagi hari. Tapi, saya pribadi yakin
kemacetan masih bisa dikurangi. Macet itu biasa, tapi jangan sampai macet (pake)
banget yang bisa stuck di tempat
sampai berjam-jam juga sih... Oke, kita tinggalkan sejenak tentang ‘macet’
karena inti dari tulisan ini bukan mau membahas tentang kemacetan karena sangat
membosankan tapi tentang kehidupan seorang rakyat biasa (eerrggh). Semoga
tulisannya tidak menjadi sangat-sangat membosankan ya..
Pagi ini, seperti biasa
dari Pasar Minggu saya melanjutkan perjalanan menuju kantor naik angkutan kota (angkot)
jurusan Pasar Minggu - Kampung Melayu. Tidak ada yang istimewa dengan penumpang
angkot yang saya naiki. Begitu pun dengan bapak supir angkot, beliau terlihat
biasa layaknya supir angkot pada umumnya. Menggunakan kemeja khas supir angkot
berwarna biru. Muka
yang terlihat lelah seperti belum sempat cuci muka. Serta rambut jabrik
berdiri yang sepertinya jarang disisir. Kulit bapak supir angkot ini cokelat
gelap layaknya kulit yang sering kali terbakar sinar matahari. Namun, celotehan
bapak supir ini mampu menarik perhatian saya hingga mampu menggerakkan saya
untuk membuat sebuah tulisan (lagi) di sini.
Bapak supir tersebut, mulai
bercerita kepada penumpang yang duduk disampingnya terkait tindak penilangan
motor yang akhir-akhir ini rajin dilakukan oleh polisi. Dari cara bicaranya
telihat sekali rasa kekecewaannya bukan karena dia sering terkena tilang,
karena sebagian besar yang ditilang adalah pengendara bermotor. Lantas? Bisa kalian tebak lah ya (apalagi kalau bukan pembayaran sanksi denda tilang besarannya disesuaikan dengan isi dompet para pengendara motor yang kena tilang). Tapi dalam konteks pengenaan sanksi tilang, saya sepakat dengan pihak kepolisian karena tilang
dilakukan juga untuk menertibkan para pengendara motor yang tidak disiplin, seperti
tidak memakai helm, tidak mempunyai sim, atau melakukan perilaku berkendara
lainnya yang membahayakan nyawa pengendara dan nyawa orang lain. Sayangnya saat
itu, saya bukanlah penumpang yang duduk disamping bapak supir, jadi saya tidak
bisa membagi pendapat saya kepada bapak supir (ngga mungkin teriak-teriak di dalem angkot kan).
Setelah itu, bapak supir
melanjutkan berceloteh tentang perpolitikan negeri ini (kece ya, bapaknya
aware tentang politik). Terlihat sekali beliau kecewa terhadap Ahok, Jokowi,
sampai Megawati. Cerita bapak supir sampai saat itu masih cerita seputar
kekecewaan rakyat biasa terhadap banyaknya permasalahan di negeri ini. Masih sangat
biasa saya pikir. Sampai setelah itu, bapak supir mulai bercerita tentang kondisi
keluarganya.
Bapak supir berkeluh
kesah tentang hidupnya yang saat ini terasa lebih berat dan lebih susah dibanding
masa-masa sebelum pemesanan transportasi dengan sistem online kian marak di
Jakarta. Menurut penuturannya, sebelum ada pemesanan transportasi sistem
online, bapak supir mampu meraup pendapatan bersih sebesar kurang lebih Rp
300.000 per hari/ Rp 9.000.000 per bulan. Dengan penghasilan tersebut, bapak
supir mampu membayar sekolah anak dan memberi uang untuk istrinya yang berperan
sebagai ibu rumah tangga. Namun, semenjak maraknya pemesanan transportasi
online, penghasilan bapak supir ternyata menurun drastis. Menurut cerita,
bapak supir bahkan kesulitan untuk mengumpulkan pendapatan bersih Rp 100.000
per hari. Penumpang yang menggunakan angkot semakin hari semakin sedikit.
Hingga bapak supir sekarang merasa kesulitan untuk menutupi kebutuhan hidup
sehari-hari. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, saat ini istri bapak supir pun
turut membantu dengan bekerja. Mereka bekerja keras, hanya untuk menjamin
anaknya dapat mengenyam bangku pendidikan setinggi-tingginya. Kecemasan bapak
supir terhadap anaknya sangat telihat dari celotehannya:
“Saya ini hanya lulusan SMA saja jadi supir angkot pak, entah jadi apa anak saya nanti, maka itu saya mau anak saya bisa sekolah, itu aja yang penting.”
Tidak terasa ternyata
saya sudah harus turun dari angkot karena sudah sampai di depan kantor saya.
Dari turun angkot hingga sampai di ruang kantor, saya hanya bisa berjalan
menunduk dengan cerita bapak supir yang masih terngiang-ngiang di otak saya.
Rasa sedih dan kecewa memenuhi diri saya di pagi hari ini.
Permasalahan di negeri ini
memang terlihat sangat makro. Melibatkan banyak pihak dan unsur yang saling
terkait satu sama lain. Arus globalisasi yang sangat deras, gerakan pasar
bebas, masyarakat Ekonomi-Asia, pilkada, dinamika politik
dan budaya, dan berbagai macam isu besar yang ada di negeri ini memang terlihat
hanya merupakan isu semata. Terlihat seperti isu-isu tersebut hanyalah penting
dipikirkan oleh pejabat-pejabat negeri yang ada di MPR/DPR, Kabinet RI/ atau
akademisi. Namun ternyata, dampak dari isu-isu besar tersebut berpengaruh
langsung kepada kehidupan para rakyat kecil. Segala kebijakan pemerintah yang
diambil terlihat nyata berpengaruh besar terhadap kehidupan kita sehari-hari. Masih
bisakah bekerja besok? masih mampukah membeli makan besok? masih mampukah membayar
uang sekolah?
Entahlah, cerita bapak
supir tersebut menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya hingga saya merasa
perlu membaginya dengan kalian. Selamat Pagi, Selamat menebar kebaikan :)