Saturday, May 7, 2011

Polemik Pemberian Pelayanan Publik “Antara Pemerintah dan Masyarakat”


Pelayanan Sektor Publik
Keputusan MENPAN No.63/Kep/M.Pan/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah di Pusat, Daerah, dan Lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk penyediaan /pemberian barang/jasa. (Direktorat Jendral Otonomi Daerah).[1] Berdasarkan keputusan MENPAN  tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik bertugas memberikan pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakatnya.
Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Pelayanan Sektor Publik
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah seberapa besar realisasi dari pemberian pelayanan oleh pemerintah atas dasar pemenuhan kebutuhan masyarakatnya? Sudahkan masyarakat merasakan kebutuhannya terpenuhi? Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemerintah masih belum maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Andrinov Chaniago, UU Pelayanan Publik masih dipandang sebelah mata oleh para pejabat publik khususnya di tingkat bawah. Sulastio dari Indonesia Parliamentary Center juga mengatakan bahwa buruknya pelayanan publik terjadi karena memang tidak ada itikad baik dari pemerintah dalam reformasi birokrasi. [2]

Masalah pemberian layanan publik yang belum maksimal ternyata tidak hanya disebabkan dari pemerintah tetapi juga dapat disebabkan dari masyarakat. Terdapat pula faktor dari masyarakat yang turut menyebabkan pelayanan public dari pemerintah belum dapat berjalan maksimal. Masyarakat, idealnya dapat menjadi pengontrol kinerja pemerintah, tetapi realitas yang ada menunjukkan bahwa masyarakat belum bisa menjalankan fungsinya dengan optimal. Andrinov mengatakan, “Masyarakat bisa berperan ketika sudah mengetahui terlebih dahulu soal aturan, kemudian sadar, baru kemudian masyarakat bisa bertindak jika memang pelayanan publik ini tidak berjalan dengan baik,”. (dalam situs http://hukumonline.com/berita/baca/lt4c04a3f5d4efe/-implementasi-uu-pelayanan-publik-dinilai-belum-maksimal)[3]
Polemik Pada Pelayanan Sektor Publik, Antara Pemerintah dan Masyarakat
Dari penjabaran diatas, dapat ditarik benang merah bahwa pelayanan publik yang belum maksimal ternyata tidak hanya terjadi karena kinerja pemerintah yang belum optimal tetapi juga karena masyarakat sebagai pengontrol pemerintah belum bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga permasalahan yang ada dalam pemberian pelayanan public menjadi semakin kompleks. Masyarakat sebagai penerima layanan cenderung pasif dalam merespon pelayanan publik yang ada. Hal ini menyebabkan tidak ada feedback dari masyarakat dalam merespon pelayanan yang diberikan pemerintah. Perencanaan pembuatan pelayanan menjadi terlihat satu arah dan tidak melibatkan kepentingan masyarakat didalamnya.
Dalam hal ini, terjadi polemik antara pemerintah dengan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat menginginkan adanya pelayanan publik yang optimal dan prima. Tetapi, di lain sisi masyarakat tidak memiliki kemampuan yang mumpuni mengenai aturan, dan kesadaran akan hak bertindak dalam meminta terpenuhinya pelayanan yang optimal. Selain itu, pemerintah dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kepada publik, hanya berdasarkan asumsi dari pemikiran pemerintah saja atau dengan kata lain tidak cover both side. Jadi, antara pemerintah dan masyarakat tidak ada feedback yang nyata satu sama lain sehingga pelayanan yang diberikan menjadi tidak optimal.
Sebagai bentuk konkret dari kasus yang timbul akibat tidak adanya feedback seperti yang telah dijabarkan diatas, dapat terllihat dalam tindakan korupsi. Divisi penelitian dan pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa fakta yang dijumpai saat ini, pelayanan sektor publik merupakan salah satu sektor di mana tindak pidana korupsi terutama dalam bentuk penyuapan, pemerasan maupun gratifikasi masih banyak terjadi. Bahkan hal tersebut sudah mulai dilakukan secara sistematis serta semakin meluas dan semakin canggih dalam proses pelaksanaannya. Contohnya saja dalam pembuatan Kartu Tanda Pengenal (KTP). Pelayanan pembuatan KTP resmi tidak memakan biaya sama pungutan sama sekali..
Menurut situs berita Jakarta.com, sejatinya proses pembuatan maupun perpanjangan KTP di DKI Jakarta, dilakukan secara gratis. Dengan catatan KTP tersebut tidak mengalami keterlambatan apalagi kadaluarsa. Bila dalam proses perpanjangan KTP, mengalami keterlambatan maka sudah semestinya pemilik KTP dikenai denda sebesar Rp 10 ribu. Ini sesuai dengan Perda Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah di Ibukota Jakarta. Uang denda akan langsung dimasukkan ke dalam kas daerah.[4]
Pada praktiknya tidaklah sesuai dengan peraturan yang ada. Masyarakat Jakarta bahkan memilih memberikan uang tambahan kepada petugas kelurahan agar pembuatan KTP dapat berjalan lebih cepat. Padahal, dalam pembuatan KTP secara resmi, masyarakat tidak dikenakan biaya apapun. Tetapi kebiasaaan memberikan uang lebih atau tip untuk pegawai kelurahan saat sedang membuat KTP telah menjadi suatu budaya sendiri. Harapan masyarakat, dengan memberikan uang lebih kepada pegawai kelurahan maka KTP dia akan lebih cepat jadi tanpa harus menunggu waktu lama.
Perilaku masyarakat seperti itu yang menyebabkan budaya korupsi telah mengakar di ranah pemerintah terutama pada tingkat bawah. Hal ini menyebabkan petugas kelurahan terbiasa mendapatkan uang tip dan menjadikan hal tersebut sebagai syarat tidak tertulis jika ingin mendapatkan pelayanan yang baik. Poin penting dalam hal ini adalah kesadaran yang kurang dari masyarakat dan pengetahuan yang minim mengenai peraturan yang ada menyebabkan masyarakat tidak dapat dengan tegas menjalankan fungsinya sebagai pengontrol pemerintah,
Kesimpulan
Tidak berjalannya kontrol masyarakat atas sikap pemerintah, menjadi salah satu faktor penyebab pemberian pelayanan public tidak optimal. Oleh karena itu, solusi yang dapat ditawarkan dalam membenahi pemberian pelayanan publik yang optimal dan prima dapat diselesaikan dari dua sisi. Pertama dari sisi pemerintah, pemerintah harus dapat lebih professional dalam menjalankan tugasnya, terutama pegawai pemerintah yang bekerja pada tingkat bawah. Mental para pegawai harus kuat dan tegas agar tidak mudah tergoda melakukan tindak korupsi, terutama dalam proses birokrasi. Kedua dari sisi masyarakat, masyarakat harus terlibat aktif dalam memberikan respon atau feedback atas layanan public yang dianggap masih kurang optimal. Selain itu, masyarakat juga perlu meningkatkan pengetahuan tentang peraturan yang ada mengenai pelayanan public.
Jika masyarakat telah mempunyai pemahaman yang baik dalam aturan yang ada maka dengan sendirinya masyarakat akan tergerak menuntut haknya jika terjadi pemberian pelayanan yang masih kurang optimal. Dengan pembenahan dari dua sisi tersebut diharapkan proses pemberian layanan public dapat berjalan dengan baik dan prima untuk seluruh kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya feedback satu sama lain antara pemerintah dengan masyarakat sehingga pemberian pelayanan publik pun tepat sasaran karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat.